Friday, November 20, 2009

Bahaya di Balik Makanan Kemasan

KETIKA kesibukan sudah semakin padat, makanan kemasan sering kali menjadi andalan. Praktis memang, kalapun harus dimasak, waktunya sebentar. Akan tetapi, pernahkah kita tahu bagaimana dampak makanan ini terhadap tubuh?

Menurut H. Harry Zuhary Sabirin dari Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung, bahan kemasan makanan meliputi beberapa jenis, antara lain kaleng, gelas (botol/jar), plastik dan styrofoam. Kertas tidak tergolong kemasan karena lebih sering disebut sebagai bungkus saja.

Bahan kemasan ini mempunyai sifat spesifik dan harus memenuhi syarat tertentu (standar) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Misalnya saja, tidak boleh menimbulkan interaksi yang mengakibatkan perubahan pada produk makanan dalam kemasan itu, berkarat, dll.

Contohnya kaleng, berbahan dasar besi. Pada pemakaiannya, kaleng harus dilapisi timah putih (Sn) dengan sistem pelapisan sangat ketat dan tidak boleh ada lubang pori sekecil apa pun. Kaleng (template) ini harus dilapisi lagi dengan enamel bila akan digunakan untuk makanan yang mudah menimbulkan korosi (karat).

Bahan kemasan makanan paling aman adalah gelas. Kelemahannya, kemasan gelas tidak tahan pada suhu tertentu dan rentan pecah. Meski ada juga beberapa jenis gelas yang memang tahan sampai suhu tertentu.

Bahan kemasan yang paling populer adalah plastik. Namun hanya plastik yang bertanda foodgrade yang aman digunakan untuk kemasan makanan. Plastik ini ada yang berjenis LDPE (poliethylen densitas rendah) dan HDPE (poliethylen densitas tinggi). Bahayanya, aman tidaknya bahan kemasan ini, tidak dapat dibedakan secara kasat mata.

"Tapi untuk industri besar, biasanya tidak berani bertaruh. Mereka dipastikan akan memakai bahan kemasan plastik yang sesuai standar VPOM. Lain halnya dengan industri rumahan, terkadang keamanannya kurang terjamin," ujar Harry.

Selain bahan kemasan, hal penting yang harus diperhatikan adalah proses pengemasan makanan, alat yang digunakan, dan tentu saja makanannya itu sendiri. Beberapa jenis makanan tertentu harus dimasukkan pada saat panas dan langsung ditutup. Tetapi ada beberapa jenis makanan yang justru harus didinginkan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kemasan.

Proses atau perlakuan pengemasan ini adakalanya tidak sesuai prosedur sehingga menimbulkan kemasannya cacat. Sebagai contoh proses menutup kurang rapat, tingkat kedap udara tidak sesuai, gas yang dimasukan kurang, atau yang lainnya. Kendati begitu, Harry menegaskan, selama semua syarat dan prosedur proses pengemasan dilakukan sesuai peraturan dan standar yang ditetapkan, makanan kemasan tersebut tetap aman untuk dikonsumsi.

Terdaftar

Senada dengan Harry, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Dra. Siti Nuraniyah menegaskan, tidak semua makanan kemasan berbahaya. Sebab sebelum makanan itu diedarkan harus terdaftar terlebih dahulu. Untuk makanan kemasan yang diproduksi industri besar harus terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sedangkan untuk makanan kemasan yang diproduksi rumah tangga harus ada izin dari dinas kabupaten/kota.

Untuk makanan kemasan yang sudah terdaftar di BPOM akan mendapat label MD (makanan dalam negeri) atau ML (makanan luar negeri/import). Untuk makanan kemasan yang sudah terdaftar di kabupaten/kota akan mendapat label PIR (pangan industri rumah tangga). "Jika pembeli tidak mendapat tanda itu dalam kemasan, jangan beli!" ujarnya.

Sebelum didaftarkan, makanan kemasan telah mengalami berbagai proses produksi. Untuk semua proses produksi itu, mulai dari bahan makanan, bahan tambahan makanan (BTM) yang dipakai dalam makanan itu termasuk takarannya, sampai bahan kemasan makanannya harus diperiksa terlebih dahulu. Apakah bahan makanan dan BTM yang akan dikemas itu sudah sesuai standar atau belum.

Begitu juga dengan bahan kemasannya apakah membahayakan atau tidak. Jika semua persyaratan itu sudah dipenuhi dan sesuai standar yang ditetapkan BPOM, makanan kemasan itu dapat didaftarkan, untuk kemudian diedarkan.

Bahan kemasan berbahaya, biasanya sering ditemukan pada makanan yang tidak berada dalam pengawasan BPOM atau dinas kesehatan kabupaten/kota. Salah satunya gorengan yang dijual di pinggir jalan. Pembungkusnya memakai kertas dengan tulisan tintanya berada di bagian dalam pembungkus. Padahal, tinta itu mengandung timbal. Bahaya serupa dapat ditemukan pada gorengan yang dimasukkan ke dalam kantung keresek hitam. Kantung plastik termasuk produk hasil daur ulang yang juga mengandung timbal.

Makanan kemasan dapat dikatakan berbahaya bila kemasan makanan itu berubah. Seperti penyok, bocor, berubah warna, atau bahkan sudah kedaluarsa. Makanan kemasan yang penyok, dapat terkontaminasi udara atau zat-zat tertentu yang ada dalam bahan kemasan makanan tersebut. Contohnya, daging kalengan penyok bisa jadi bukan saja sudah dimasuki mikroba-mikroba tertentu dari udara tetapi juga zat besi (Fe) yang ada dalam kaleng. Sebab kemasan kaleng yang penyok atau bocor dapat mengakibatkan karat karena unsur besi dalam kaleng itu sudah bersentuhan dengan udara.

Hal sama dapat terjadi bila makanan dalam kemasan itu sudah berubah. Mungkin karena makanan itu terpapar lama sinar matahari saat disimpan di kios atau warung. "Makanan kemasan dengan ciri fisik seperti itu sebaiknya tidak dibeli," ujar Nuraiyah yang akrab dipanggil Nunung.

Untuk bahan kemasan styrofoam, akan berbahaya bila bersentuhan dengan suhu tertentu. Hal itu akan menguraikan bahan dasar styrofoam yang terdiri atas monumer-monumer. Monumer ini mengandung styren dan resin yang berbahaya. "Makanya, untuk industri rumahan sering dianjurkan untuk memakai pelapis daun pisang atau kertas nasi sebelum makanan itu bersentuhan dengan sterefoam," ujar Nunung.

Sedangkan untuk makanan kemasan seperti mi, sudah melewati persyaratan tertentu yang ditetapkan BPOM. Sehingga kalaupun styrofoam tersebut bersentuhan dengan air panas, panasnya diserap oleh mi bukan oleh styrofoamnya.

Saat ini, kata Nunung, banyak produsen makanan kemasan yang mencantumkan dan mengiklankan tidak menggunakan bahan pengawet. Kepala BPOM sudah melarang pencantuman kata-kata tersebut. Itu sesuai ketetapan Menkes RI No. 722 tahun 1988 tentang pencantuman informasi bebas bahan tambahan makanan pada label dan iklan pangan.

Pasalnya, pemerintah masih membolehkan pemakaian bahan pengawet, pemanis, maupun pewarna sesuai dengan peraturan No. HK.00.06.1.52.6635. "Kalau produk itu menyebutkan tanpa pengawet sedangkan pada saat dilakukan pengujian ternyata menggunakan pemanis, itu sudah tergolong menyalahi peraturan dan harus diperingatkan," ujarnya.

Ini penting diketahui masyarakat, karena sepertinya terjadi anggapan keliru, bahwa setiap produk yang tidak menggunakan pengawet, pasti aman. "Padahal, tidak semua pengawet, pemanis, pewarna tidak aman," ujarnya.

Cerdas

Berkenaan dengan sikap masyarakat dalam mengonsumsi makanan kemasan, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar Dr. Alma Lucyati mengatakan, sudah saatnya masyarakat cerdas memilih. Makanan kemasan menurutnya, memberi manfaat positif dan negatif. Manfaat positif karena cepat, mudah, dan kapan pun dapat disajikan.

Sisi negatifnya, makanan kemasan merupakan makanan yang sudah melalui proses cukup panjang. Dipastikan, efek proses tersebut dapat mengurangi kandungan gizi makanan tersebut terutama vitamin."Untuk kandungan energi, protein, atau yang lainnya mungkin masih bisa dipertahankan. Tapi kalau vitamin, pasti ada yang berkurang," tuturnya.

Makanan kemasan juga memiliki kelemahan lain, yakni rentan terkena mikroba-mikroba tertentu apabila sudah dibuka. Oleh karena itu, jika makanan kaleng dibuka, segeralah konsumsi. Jangan sampai dibagi dua dan sisanya digunakan kemudian.

"Ini yang bahaya. Belum lagi kalau alat yang digunakan untuk membuka atau mengeruk makanan itu tidak steril, dipastikan akan menimbulkan penyakit, misalnya diare," ujar Alma.

Itu artinya masyarakat juga harus tahu bagaimana cara memperlakukan makanan kemasan. Bila makanan yang diperlukan jumlahnya sedikit, belilah kemasan kecil. Bila harus disimpan dalam lemari pendingin, jangan simpan di ruang terbuka. Bila tidak perlu dimasak, jangan malah digodok.

Semua kemudahan yang diberikan makanan instant, harus disikapi dengan sikap cerdas. Coba lihat, apakah makanan kemasan tersebut sudah mencantumkan label lengkap, izin dari Depkes, BPOM, atau dinas kabupaten/kota.

Terlebih belum ada penelitian yang memastikan seberapa banyak tubuh seseorang dapat mengonsumsi makanan kemasan. Kalaupun sering dikatakan makanan kaleng dapat menjadi pemicu kanker, itu pun bergantung pada reaksi spesifik tubuh orang tersebut.

"Jika kita merasa tidak perlu mengonsumsinya, mengapa harus. Semuanya akan kembali kepada kitanya sendiri sebagai pemakai," ujar Alma.

kutipan dari: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=80894

No comments: